Jumat, 30 November 2012

PERPETAAN

II.1 Kompas Geologi
Kompas, klinometer, dan “hand level” merupakan alat-alat yang dipakai dalam berbagai kegiatan survei, dan dapat digunakan untuk mengukur kedudukan unsur-unsur struktur geologi. Kompas geologi merupakan kombinasi dari ketiga fungsi alat tersebut. Jenis kompas yang akan dibahas disini adalah tipe Brunton dari berbagai merek.
II.1.1 Bagian-Bagian utama kompas geologi
Bagian-bagian utama kompas geologi tipe Brunton diperlihatkan dalam (Gambar II.1). Yang terpenting diantaranya adalah :
1. Jarum magnet
Ujung jarum bagian utara selalu mengarah ke kutub utara magnet bumi (bukan kutub utara geografi). Oleh karena itu terjadi penyimpangan dari posisi utara geografi yang kita kenal sebagai deklinasi. Besarnya deklinasi berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Agar kompas dapat menunjuk posisi geografi yang benar maka “graduated circle” harus diputar.
Penting sekali untuk memperhatikan dan kemudian mengingat tanda yang digunakan untuk mengenal ujung utara jarum kompas itu. Biasanya diberi warna (merah, biru atau putih).
2. Lingkaran pembagian derajat (graduated circle)
Dikenal 2 macam jenis pembagian derajat pada kompas geologi, yaitu kompas Azimuth dengan pembagian derajat dimulai 0o pada arah utara (N) sampai 360o, tertulis berlawanan dengan arah perputaran jarum jam dan kompas kwadran dengan pembagian derajat dimulai 0o pada arah utara (N) dengan selatan (S), sampai 90o pada arah timur (E) dan barat (W). (Gambar II.2)
3. Klinometer
Yaitu bagian kompas untuk mengukur besarnya kecondongan atau kemiringan suatu bidang atau lereng. Letaknya di bagian dasar kompas dan dilengkapi dengan gelembung pengatur horizontal dan pembagian skala (Gb. II.3A). Pembagian skala tersebut dinyatakan dalam derajat dan persen.
II.2 Menyesuaikan Inklinasi dan Deklinasi
Sebelum kompas digunakan di lapangan, hendaknya diperiksa dahulu apakah inklinasi dan deklinasinya telah disesuaikan dengan keadaan tempat pekerjaan.
II.2.1.1 Inklinasi
Inklinasi adalah kecondongan jarum kompas yang disebabkan oleh perbedaan letak geografi suatu daerah terhadap kutub bumi. Sudut kecondongan akan hampir 0 (horizontal) apabila kita berada di dekat/di sekitar equator, dan semakin bertambah besar apabila mendekati kutub-kutub bumi. Dengan demikian, maka tiap tempat di atas bumi ini akan mempunyai sudut inklinasi yang berbeda-beda.
Pada dasarnya, sebelum kompas geologi itu dapat digunakan dengan baik, kedudukan jarum harus horizontal. Untuk itu bisa digunakan beban (biasanya ada) yang dapat digeser sepanjang jarum kompas (Gambar II.2B – beban).
II.2.1.2 Deklinasi
Deklinasi adalah sudut yang dibentuk oleh arah utara jarum kompas dan arah utara sebenarnya (Utara geografi), sebagai akibat dari tidak berimpitnya titik utara magnit dan titik utara geografi.
Besarnya deklinasi di suatu daerah umumnya ditunjukkan pada peta topografi daerah tersebut. Untuk menyesuaikan agar kompas yang akan dipakai menunjukkan arah utara yang sebenarnya, lingkaran derajat pada kompas harus digeser dengan cara memutar “adjusting screw” yang terdapat pada sisi kompas sebesar deklinasi yang disebutkan (11 pada gambar II.1) contoh :
Deklinasi di suatu daerah adalah 15o West.
Artinya, utara magnetik berada 15o sebelah barat dari utara geografi. Dalam hal ini lingkaran derajat harus diputar, sehingga index (13 pada gambar II.1) akan menunjuk pada angka 15o sebelah barat titik 0o.

II.3 Penggunaan Kompas Geologi

Kompas geologi selain digunakan untuk menentukan arah, juga dapat dipakai untuk mengukur besarnya sudut lereng.
II.3.1 Menentukan arah azimuth dan cara menentukan lokasi
Arah yang dimaksudkan disini adalah arah dari titik tempat berdiri ke tempat yang dibidik atau dituju. Titik tersebut dapat berupa : puncak bukti, patok yang sengaja dipasang, dan lain-lain. Untuk mendapatkan hasil pembacaan yang baik, dianjurkan mengikuti tahapan sebagai berikut :
1. Kompas dipegang dengan tangan kiri setinggi pinggang (Gambar II. 4A)
2. Kompas dibuat horizontal (dengan bantuan “mata lembu” – 8 pada Gb. II.1) dan dipertahankan demikian selama pengamatan.
3. Cermin diatur, terbuka kurang lebih 135o menghadap ke depan dan sighting arm dibuka horizontal dengan peep sight ditegakkan (Gambar II. 4B).
4. Badan diputar sedemikian rupa sehingga titik atau benda yang dimaksud tampak pada cermin dan berimpit dengan ujung sighting arm dan garis tengah dan garis tengah pada cermin. Sangat penting diingat bahwa : bukan hanya tangan dengan kompas yang berputar tetapi seluruh badan.
5. Baca jarum utara kompas, setelah jarum tidak bergerak. Hasil bacaan adalah arah yang dimaksud. Pada gambar II.A, azimuth = S 45o dan pada gambar II.B, azimuth = N 220o E.
Hasil pembacaan arah dapat dipakai untuk menentukan lokasi dimana pengamat berdiri, dengan dibantu peta topografi. Pembidikan dapat dilakukan ke beberapa obyek yang lokasinya diketahui dengan pasti di peta (biasanya tiga obyek) kemudian arah-arah tersebut ditarik pada peta dengan menggunakan busur derajat dan segitiga. Titik potong ketiganya, yang bila pembacaannya tepat, akan hanya berpotongan di satu titik. Titik tersebut adalah titik dimana pengamat berdiri (lihat juga II.6).
Membaca arah dapat juga dilakukan dengan memegang dan menempatkan kompas pada posisi mata (Gambar II. 5A).
Kompas dipegang horizontal dengan cermin dilipat 45o dan menghadap ke mata (Gambar II. 5B). Arah yang ditunjukkan jarum dapat dibaca melalui cermin. Karena tangan penunjuk arah terbalik (menghadap kita), maka yang dibaca adalah ujung selatan jarum kompas. Yang mana dari kedua cara ini yang paling baik adalah tergantung dari kebiasaan kita dan keadaan medan.
II.3.2 Mengukur besarnya sudut suatu lereng dan menentukan ketinggian suatu titik
Untuk mengukur besarnya sudut lereng dilakukan tahapan sebagai berikut :
1. Tutup kompas dibuka kurang lebih 45o, sighting arm dibuka dan ujungnya di tekuk 90o.
2. Kompas dipegang dengan posisi seperti yang diperlihatkan dalam Gb. II.6. Skala klinometer harus di sebelah bawah.
3. Melalui lubang peep-sight dan sighting-window dibidik titik yang dituju. Usahakan agar titik tersebut mempunyai tinggi yang sama dengan jarak antara mata pengamat dengan tanah tempat berdiri.
4. Klinometer kemudian diatur dengan jalan memutar pengatur di bagian belakang kompas, sehingga gelembung udara dalam “clinometer level” berada tepat di tengah (Gambar II.3A).
5. Baca skala yang ditunjukkan klinometer seperti yang ditunjukkan dalam Gb. II. 3B. Satuan kemiringan dapat dinyatakan dalam derajat maupun dalam persen.
Apabila jarak antara tempat berdiri dan titik yang dibidik diketahui, misalnya dengan mengukurnya di peta maka perbedaan tinggi antara kedua titik tersebut dapat dihitung. Perbedaan tinggi tersebut dapat juga diketahui dengan cara seperti yang diperlihatkan dalam Gb. II.7. Dalam hal ini, ikutilah prosedur sebagai berikut :
1. Letakkan angka 0 klinometer berimpit dengan angka 0 pada skala.
2. Pegang kompas seperti Gb. II.6, gerakan dalam arah vertikal sedemikian rupa sehingga gelembung udara berada di tengah (no. 9 dalam Gb. II.1 atau Gb. II.3A).
3. Bidiklah melalui lubang pengintip sehingga mata, lubang pengintip dan garis pada jendela panjang (no. 4 pada Gb. II.1) berada dalam satu garis lurus. Perpanjangan dari garis lurus tersebut akan “menembus” permukaan tanah di depan pada suatu titik tertentu. Ingat-ingatlah titik “tembus” ini.
4. Beda tinggi antara pengamat berdiri dan “titik tembus” tadi sama dengan tinggi pengamat dari telapak sepatu sampai mata.
5. Berpindahlah ke “titik tembus” tadi dan ulanglah prosedur no. 2 dan 3 di atas sampai daerah yang akan anda ukur selesai.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih teliti dalam pengukuran arah dan sudut lereng, dapat digunakan kaki –tiga (tripod) seperti pada gambar II.8.
II.4 Mengukur kedudukan unsur struktur
Dalam geologi kita hanya mengenal adanya 2 (dua) jenis unsur struktur, yaitu struktur bidang dan struktur garis.
II.4.1 Mengukur kedudukan bidang
Yang dimaksud dengan struktur bidang adalah bidang perlapisan, kekar, sesar, foliasi, dan sebagainya. Kedudukannya dapat dinyatakan dengan jurus dan kemiringan atau dengan arah kemiringan dan kemiringan.
Ada beberapa cara yang dapat diterapkan untuk mengukur kedudukan struktur demikian di lapangan, dan cara mana yang paling baik tergantung dari selera masing-masing atau telah ditetapkan dan merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh instansi tempat kita bekerja. Di sini hanya akan dikemukakan 3 (tiga) cara saja yang paling lazim dilakukan dan dapat dimengerti oleh setiap pemeta atau geologiawan.
II.4.1.1 Dengan kompas azimuth
Mengukur jurus dan kemiringan dengan kompas azimuth, ikutilah prosedur sebagai berikut :
1. Bukalah cermin kompas > 90o
2. Letakkan salah satu sisi kompas yang bertanda E atau W (bukan N atau S) pada bidang yang akan diukur.
3. Aturlah posisi kompas sedemikian rupa sampai horizontal dengan bantuan “mata lembu”. Tetapi harus dijaga agar sisi kompas tetap menempel pada bidang yang diukur (bila bidangnya renjul, lakukanlah itu dengan bantuan clipboard atau yang semacamnya).
4. Bacalah jarum utara dan segera catat agar tidak lupa (bila kompas diangkat, jarum akan bergerak). Angka yang anda baca adalah jurus bidang yang diukur.
5. Tandailah garis potong antara : bidang yang diukur dengan bidang dasar kompas (= bidang horizontal). Biasanya dengan menekan angka keras atau menggeser agak keras.
6. Ubahlan posisi kompas sehingga bidang dasar komp;as tegak lurus terhadap garis potong (= jurus) pada nomor 5.
7. Aturlah klinometer sehingga gelembung pengatur horizontal terletak di tengah. Kemudian bacalah angka yang ditunjukkan (dalam hal ini kompas dapat diangkat). Hasil yang diperoleh adalah besarnya kemiringan.
8. Putarlah kompas sedemikian rupa sehingga posisinya seperti dalam gambar II. 9C. Buatlah horizontal dan bacalah arah yang ditunjukkan jarum utara : misalnya N, NE, E, SE, S, SW, W, NW. Angkanya tidak perlu dicatat. Hasil pembacaan adalah arah kemiringan.
Kedudukan struktur bidang yang diukur dapat dicatat sebagai berikut : (misalnya) N 45oE/20oSE, artinya : jurus bidang adalah timur laut dan miring atau condong 20o ke arah tenggara. Bidang N 45oE/20o SE bisa juga dibaca dan dicatat sebagai N 225oE/20oSE. Angka yang pertama diperoleh karena yang ditempel adalah sisi yang bertanda E sedang angka yang kedua karena yang ditempel adalah sisi yang bertanda W.
II.4.1.2 Dengan kompas kwadran
Untuk mengukur jurus, lekatkan sisi kompas yang bertanda E atau W, letakkan horizontal dan baca salah satu ujung jarum. Dianjurkan agar selalu membaca angka pada belahan utara kompas (atau bagian dengan tanda N). Dengan demikian kita akan mempunyai bacaan-bacaan sebagai berikut N …E atau N….W (tidak akan terjadi S…E atau S…..W).
Untuk mendapatkan kemiringan prosedurnya sama seperti pada kompas azimuth, dan harus dinyatakan kemana arah kemiringannya. Untuk arah kemiringan hanya jarum utara yang dibaca.
Contoh : N 30o E/15o NW
N 40o W/20o NW
N 40o W/25o SW dan sebagainya
II.4.1.3 Membaca arah dan besarnya kemiringan
Cara ini dapat diterapkan baik untuk kompas azimuth maupun kwadran. Pada dasarnya cara ini adalah mengukur arah dan besarnya kemiringan bidang. Artinya kemana arah kemiringannya dan berapa besarnya. Jurusnya tidak diukur, tetapi dapat diketahui dengan sendirinya yaitu tegak lurus pada arah kemiringan. Perbedaannya dengan kedua cara terdahulu adalah pencatatan dan plotting dalam peta.
a. Pengukuran jurus
b. Pengukuran kemiringan
c. Pengukuran arah kemiringan
Prosedur mengukurnya adalah sebagai berikut :
a. Letakkan sisi kompas dengan cermin sejajar bidang yang diukur (atau sama dengan mendekatkan sisi kompas dengan tanda S) – Gb. II. 9C
b. Angka yang ditunjuk jarum utara adalah arah kemiringan bidang.
c. Besarnya kemiringan diketahui dengan prosedur-prosedur yang sama seperti pada cara pertama dan kedua (Gambar II. 9B)
d. Hasil bacaanyna akan ditulis : 20o N 45o E artinya : bidang itu miring 20o ke arah timur laut.
Cara ini lebih cepat (karena hanya satu kali menentukan arah) dan tidak mungkin terjadi kekeliruan dalam menentukan arah kemiringan bidang (kesalahan hanya akan terjadi apabila kita salah membaca jarum kompas) cara ini juga banyak diterapkan terutama di Eropa (Inggris) dan perusahaan-perusahaan minyak.
II.4.2 Mengukur kedudukan struktur garis
Struktur garis yang dimaksud disini dapat berupa : poros lipatan, Perpotongan 2 bidang, liniasi mineral, garis-garis pada cermin sesar, liniasi fragmen pada breaksi dan sebagainya.
Gambar
Kedudukannya dinyatakan dengan arah dan besarnya penunjaman atau (“plunge”) dan “pitch”. Yang dimaksud dengan arah disini adalah sama dengan yang dibahas pada II.3.1 (menentukan azimuth), jadi cara mengukurnya juga sama. Letakkan atau arahkan kompas dalam posisi horizontal sedemikian rupa sehingga salah satu sisinya berimpit dengan liniasi yang akan diukur dan “sighting arm” sejajar dengan arah garis, kemudian dibaca jarum utara. Cara mengukurnya, dapat dilakukan dengan meletakkan langsung kompas itu pada struktur yang diukur, atau sambil berdiri seperti pada gambar. Adapun penunjaman atau “plunge” adalah besarnya sudut yang dibuat oleh struktur garis tersebut dengan bidang horizontal diukur pada bidang vertikal melalui garis tersebut (Gambar II.10).
Cara menentukan besarnya penunjaman atau “plunge” (dibaca plans), adalah dengan membaca klinometer pada saat kedudukan kompas vertikal dan sisinya diletakkan seluruhnya (jangan hanya ujungnya) pada garis yang diukur.
II.5 Membaca kompas dan cara “plotting”
II.5.1 Membaca arah
Perlu diingat bahwa untuk membaca arah, baik kompas azimuth maupun kwadran, jarum yang diperhatikan hanyalah jarum utara. Dalam gambar II.2A arah yang ditunjukkan kompas adalah S 45o E sedangkan dalam gambar II.2B adalah N 220o E.
II.5.2 Membaca jurus
Membaca jurus lapisan sama persis dengan membaca arah oleh karena jurus tidak lain dari pada arah garis potong antara bidang lapisan dengan bidang horizontal.
Telah dianjurkan dalam II.4.1.2 bahwa membaca jurus pada kompas kwadran sebaiknya diamati jarum yang berada di setengah lingkaran kompas yang bertanda N. Oleh karena itu dapat terjadi bahwa yang berada di bagian yang bertanda N adalah jarum selatan.
II.5.3 Membaca sudut lereng, kemiringan lapisan atau penunjaman liniasi
Untuk membaca ketiga parameter di atas dipergunakan klinometer. Pada umumnya yang dibaca adalah skala “derajat”, tetapi khusus untuk sudut lereng kadang-kadang juga skala persentase (%).
Untuk skala “derajat”, pembacaan dapat dilakukan sampai “menit” yaitu dengan memperhatikan nonius yang tertera pada klinometer. Pada gambar II.3B, besarnya kemiringan adalah 10o 30’. Cara pembacaannya adalah sebagai berikut :
- Garis berangka 0 (nol) pada klinometer menunjuk diantara angka 100 dan 110. Artinya lebih besar dari 10o tetapi kurang dari 11o.
- Untuk membaca kelebihannya dari 10o, perhatikan garis-garis pada nonius, garis yang mana yang berimpit dengan skala pada derajat. Dalam contoh adalah garis 30. Dengan demikian angka kemiringannya adalah 10o 30’.
- Pada saat yang sama, kemiringan dalam “persen” adalah 19%.


Batuan karbonat adalah semua batuan yang terdiri dari garam karbonat. Dalam prakteknya adalah terutama batugamping dan dolomit.
Karbonat mempunyai keistimewaan dalam cara terbentuknya, yaitu hanya dari larutan, praktis tidak ada sebagai detritus daratan. Pembentukan batuan karbonat secara kimia, tetapi yang penting adalah turut sertanya organisme di dalam batuan karbonat.
Ada 5 (lima) mekanisme penting yang dapat menerangkan bagaimana terjadinya pengendapan CaCO3 dan bertambahnya CO2 yang dapat terlarut dalam air (Blatt, 1982).
1. Bertambahnya suhu dan penguapan. Dari semua gas yang ada, hanya sedikit yang dapat larut dalam air panas dan hal ini yang menyebabkan mengapa batuan karbonat terbentuk hanya pada laut di daerah tropis dan subtropis, jarang didapatkan pada daerah dingin dekat kutub atau pada daerah laut dalam.
2. Pergerakan air. Bergerak air yang disebabkan oleh angin atau badai akan mengakibatkan kalsium dari organisme pembentuk karang dan lumpur karbonat bergerak berpindah ke atas permukaan air.
3. Penambahan salinitas. Karbon dioksida kurang larut dalam air garam bila dibandingkan dengan daya larutnya dalam air tawar, sehingga dengan bertambahnya salinitas akan menyebabkan karbon dioksida terbebas. Bertambahnya salinitas biasanya akibat dari penguapan dan dapat menambah jumlah kalsium sebanding dengan jumlah ion karbon.
4. Aktivitas organik. Alga dan koral mempunyai proses yang berbeda satu sama lain namun saling membutuhkan dimana alga menghirup karbon dioksida dan akan mengeluarkan oksigen selama berlangsungnya proses fotosintesa, sedangkan koral menghirup O2 dan akan mengeluarkan CO2.
5. Perubahan tekanan. Air hujan mengandung sejumlah karbon dioksida mengikat jumlah udara yang banyak, selanjutnya air hujan tersebut masuk dan melewati zona tanah dengan tekanan karbon dioksida lebih besar dibandingkan di atmosfir, akibatnya air tanah menjadi kaya akan karbon dioksida. Bila air tanah tersebut masuk ke dalam sebuah gua maka karbon akan larut dalam air dan menyebabkan terbentuknya kenampakan seperti stalaktit dan stalagmit.
Hal lain adalah terbentuknya tekstur klastik pada batuan karbonat sebagai fragmentasi atau pembentukan sekunder (contoh : oolith), dan pengendapannya menyerupai detritus.

Tekstur
Pada umumnya yang menjadi unsur-unsur tekstur adalah:
1. Matriks
2. Semen Kalsit
3. Butir
4. Kerangka organik
5. Kehabluran/crystalinity
Tekstur batuan karbonat dapat dibagi sebagai berikut :
1. Tekstur Primer
a. Kerangka Organik
Tekstur ini disusun oleh material-material yang berasal dari kerangka organik atau “skeletal” dalam pengertian Nelson, atau “frame builder”.
b. Klastik/Butiran
Tekstur ini dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
 Tekstur Bioklastik
Terdiri dari fragmen-fragmen ataupun cangkang-cangkang binatang, yang berupa klast (pernah lepas-lepas) : cocquina, foraminifera, keral (lepas-lepas).
 Tekstur Intraklastik/ fragmen non organik
Dibentuk di tempat atau ditransport, tetapi jelas hasil fragmentasi dari batuan atau sedimen gamping sebelumnya.
 Tekstur Chemiklastik/ non fragmental
Butir-butir yang terbentuk di tempat sedimentasi karena proses coagulasi, akresi, penggumpalan dan lain-lain. Contoh : oolith, pisolite.
c. Massa Dasar
Tekstur ini disusun oleh butir-butir halus dari karbonat yang terbentuk pada waktu sedimentasi.
Dalam tekstur primer, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
 Ukuran Butir
Ukuran butir batuan karbonat sering dipergunakan dengan mengggunakan sistem tersendiri, tetapi hal ini tidak dianjurkan. Adapun klasifikasi ukuran butir yang dipakai adalah klasidikasi ukuran butir dan tatanama dari Folk, 1961 yang didasarkan pada klasifikasi Grabau, 1912.
 Bentuk Butir
Bentuk butir juga penting dalam mempelajari batugamping terutama memperlihatkan energi dalam lingkungan pengendapan.
Untuk bioklastik dibedakan secara extreme :
- Cangkang-cangkang yang utuh atau fragmen kerangka yang utuh/bekas pecahan jelas
- Yang telah terabrasi/bulat.
Untuk Chemiklastik dibedakan atas :
- Spheruidal
- Ovoid
Untuk batugamping kerangka :
- Kerangka pertumbuhan (grothframework)
- Kerangka pergerakan (encrustation)
 Matriks (massa dasar)
Yaitu butir-butir halus dari karbonat yang mengisi rongga-rongga dan terbentuk pada waktu sedimentasi. Matriks ini dapat dihasilkan dari pengendapan langsung sebagai jarum aragonit secara kimiawi/biokimiawi, yang kemudian berubah menjadi kalsit (?). Juga terbentuk sebagai hasil abrasi, yaitu batugamping yang telah dibentuk, misalnya koral dierosi dan abrasi kembali oleh pukulan-pukulan gelombang dan merupakan tepung kalsit.
 Hubungan Matriks dan Butiran
Lumpur gamping sangat penting untuk interpretasi lingkungan pengendapan. Karena butiran batugamping terbentuk secara lokal, maka adanya matriks di antara butiran adalah indikator bagi lingkungan pengendapan air tenang. Berdasarkan hal ini, Dunham membuat klasifikasi karbonat.
2. Tekstur Sekunder atau Tekstur Diagenesa
Tekstur sekunder pada umumnya adalah tekstur hablur yang didapat pada sebagian batuan ataupun meliputi keseluruhan. Tekstur sekunder ini terbentuk apabila batuan karbonat yang terbentuk sebelumnya mengalami proses diagenesa. Proses-proses diagenesa meliputi :
a. Pengisian pori dengan lumpur gamping
b. Mikritisasi oleh ganggang
c. Sementasi
d. Pelarutan
e. Polimorfisme
f. Rekristapisasi
g. Pengubahan/pergantian (replacement)
h. Dolomitisasi
i. Silisifikasi

           pembentukan mineral karbonat tidak lepas dari kondisi air (tawar dan asin) dimana batuan karbonat tersebut terbentuk. Walaupun mineral karbonat dapat terbentuk pada air tawar dan laut, namun informasi banyak diperoleh dari kondisi air laut.

Terdapat variasi kedalaman laut (hingga ribuan meter) dimana mineral-mineral karbonat dapat terbentuk, namun produktifitas terbentuknya mineral karbonat hanya pada wilayah dimana cahaya matahari dapat tembus (Light saturation zone). Tingkat produktifitas mineral karbonat paling tinggi yaitu pada kedalaman 0 – 20 meter (Gambar 1) dimana cahaya matahari efektif menembus kedalaman ini.


Gambar 2.1 Penampang yang memperlihatkan hubungan produksi mineral karbonat terhadap kedalaman laut (Tucker & Wright, 1990).



Selain kedalaman laut, produktifitas mineral karbonat juga ditentukan oleh organisme penyusun batuan karbonat. Beberapa jenis organisme mempunyai komposisi mineral karbonat yang tertentu seperti koral yang umum dijumpai sebagi penyusun batuan karbonat modern memiliki komposisi mineral aragonit, sedangkan organisme lainnya seperti algae, foraminifera umumnya tersusun oleh mineral kalsit (Tabel 1).


Tabel 1 Komposisi mineral setiap organisme yang umum dijumpai pada batuan karbonat modern. (Sumber: Flügel, 1982).

Indikasi organisme tersebut sebenarnya juga menjadi indikasi lingkungan pengendapan yang paling baik. Hal ini juga berlaku jika ditinjau dari segi mineralogi organisme tersebut. Koral misalnya yang berkomposisi aragonit, dimana aragonit hanya ditemukan pada kedalaman hingga 2000 meter, maka dapat dikatakan bahwa koral yang menyusun batuan karbonat umumnya pada lingkungan laut dangkal.

MINERAL UTAMA PENYUSUN BATUAN KARBONAT

Menurut Milliman (1974), Folk (1974) dan Tucker dan Wright (1990) mengungkapkan bahwa mineral karbonat yang penting menyusun batuan karbonat adalah aragonit (CaCO3), kalsit (CaCO3) dan dolomit (CaMg(CO3)2). Selain mineral utama tersebut beberapa mineral sering pula dijumpai dalam batuan karbonat yaitu magnesit (Mg CO3), Rhodochrosite (MnCO3) dan siderit (Fe CO3) (Tabel 2).


Tabel 2 Sifat petrografis mineral pembentuk batuan karbonat (Flügel (1982)

Aragonite
Calcite
(Low-Mg Calcite)
Mg- Calcite
(High-Mg Calcite)
Dolomite
Rumus Kimia
CaCO3
CaCO3
CaCO3
CaMg(CO3)2
Sistem Kristal
rhombik
Hexagonal (rhombohedral) crystal
trigonal
Trace elemen yang umum
Sr, Ba, Pb, K
Mg, Fe, Mn, Zn, Cu
Fe, Mn, Zn, Cu
Mol% MgCO3
-
< 4
> 4 s/d  > 20
40 - 50
Indeks refraksi ganda
0,155
0,172
0,177
Berat jenis
2.94
2,72
2,86
Kekerasan
3,5 - 4
3
3,5 - 4
Kenampakan kristal
Umumnya dalam bentuk acicular (fibrous) micrite
Sering dalam bentuk isometric (sparry calcite) micrite
Micrite, sering dalam bentuk acicular (fibrous)
Sering dalam bentuk isometric (sparry dolomite) micrite
Pembentukan
Dominan pada lingkungan laut dangkal
Dominan pada lingkungan laut dalam, umum pada lingkungan air tawar
Dominan pada lingkungan laut dangkal
Utamanya pada lingkungan laut sangat dangkal (transisi)
 
Jenis mineral yang umum dijumpai tersebut mempunyai kharakteristik yang tidak jauh berbeda seperti yang ditunjukkan pada tabel di atas. Walaupun ketiganya umum dijumpai pada batuan karbonat namun yang paling umum adalah kalsit hususnya untuk batuan-batuan tua. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan atau diagenesa dimana mineral aragonit cenderung berubah menjadi kalsit.

Bentuk kristal dari mineral kalsit dikontrol oleh kandungan Mg++ dalam air dan bentuk ikatan kimianya dengan Ca. Semakin besar kandungan Mg++ maka bentuk kristalnya cenderung kurus dan panjang seperti jarum dan sebaliknya cenderung memipih (Gambar 2).

Gambar 2 Bentuk kristal mineral kalsit yang dikontrol oleh kondisi air (dikutip dari Folk, 1972).

Struktur dasar yang umum dalam mineral karbonat adalah grup CO3. struktur ini memiliki 3 atom oksigen dengan pusat kristal pada atom C. ikatan ini merupakan ikatan yang relatif lebih kuat dibanding dengan ikatan kimia lainnya dalam mineral karbonat (Tucker dan Wright, 1990). Bentuk struktur kristal dari ketiga mineral utama karbonat seperti disebutkan pada tabel 2 digambarkan dalam tiga dimensi untuk menjelaskan lapisan-lapisan setiap unit (Gambar 3).

Khusus untuk kalsit dan dolomit mempunyai kesamaan system kristal tetapi berbeda secara struktur. Pada kalsit terdapat perselingan lapisan antara atom Ca dan kelompok CO3. Setiap kelompok CO3 dalam satu lapisan mempunyai orientasi 180O terhadap lapisan didekatnya (Gambar 2.3).


Gambar 3 Morfologi kristal mineral karbonat (kalsit dan dolomit).

Ketiga mineral utama tersebut mempunyai lingkungan pembentukan tersendiri. Mineral aragonit terbentuk pada lingkungan yang mempunyai temperatur tinggi dengan penyinaran matahari yang cukup, sehingga batuan karbonat yang tersusun oleh komponen dengan mineral aragonit merupakan produk laut dangkal dengan kedalaman sekitar 2000 meter, namun perkembangan maksimum adalah hingga kedalaman 200 meter. Sedangkan mineral kalsit merupakan mineral yang stabil dalam air laut dan dekat permukaan kulit bumi. Mineral kalsit tersebut masih bisa ditemukan hingga kedalam laut mencapai 4500 meter (Gambar 2.4).

Dolomit adalah mineral karbonat yang stabil dalam air laut dan dekat permukaan. Dolomit menurut sebagian ahli merupakan batuan karbonat yang terbentuk oleh hasil diagenesa batuan yang telah ada. Dengan demikian maka dolomit hanya umum dijumpai pada daerah evaporasi atau transisi.

Wilayah atau kedalaman dimana mineral aragonit mulai melarut pada kedalaman sekitar 600 meter disebut lysocline dan pada kedalaman sekitar 2000 meter merupakan zona dimana aragonit tidak terbentuk lagi atau dikenal sebagai Aragonite Compensation Depth (ACD). Sedangkan mineral kalsit mulai melarut pada kedalaman sekitar 3000 meter dan pada kedalaman sekitar 4200 meter tidak ditemukan lagi mineral karbonat atau disebut Calcite Compensation depth (CCD) (Gambar 4).

Gambar 4 Diagram yang memperlihatkan posisi relatif mineral aragonit dan kalsit terhadap kedalaman air laut dan tingkat solubilitas mineral yang ditunjukkan oleh garis ACD dan CCD pada daerah tropis. Pembagian zona menjadi 4 zona yaitu zona presipitasi (I), zona dissolusi parsial (II), zona dissolusi aktif (III) dan zona dimana tidak ditemukan lagi mineral karbonat (IV).

Terjadinya perbedaan tersebut tidak hanya terjadi oleh karena perbedaan sinar matahari yang bisa masuk tetapi juga disebabkan oleh temperatur air laut, kandungan Mg2+, saturasi dari konsentrasi CO32- serta fisiologi biotanya (Tucker dan Wright, 1990).

Diagram yang diperlihatkan pada gambar 4 di atas secara berangsur berubah atau mendangkal seiring dengan perubahan latitude, damana semakin ke arah kutup, maka zona-zona tersebut semakin mendangkal (Gambar 5). Perubahan tersebut terjadi oleh perbedaan cahaya matahari yang bisa masuk kedalam air laut. Kedalaman air laut yang bisa tertembus oleh sinar matahari semakin tinggi pada posisi dekat dengan equator atau khatulistiwa. Oleh karena itu pada daerah-daerah equatorial merupakan wilayah yang menjadi tempat berkembangnya terumbu modern yang baik. Sebaliknya zona yang menjauh dari daerah equatorial maka kedalaman air yang dapat ditembus oleh cahaya matahari semakin dangkal sehingga semakin kurang baik perkembangan terumbunya.


Gambar 5 Diagram yang memperlihatkan posisi relatif zona presipitasi (I), zona dissolusi parsial (II), zona dissolusi aktif (III) dan zona dimana tidak ditemukan lagi mineral karbonat (IV) terhadap latitude.

Khusus untuk daerah tropis, pembagian zona tersebut CCD mencapai kedalaman laut sekitar 4500-an meter atau hingga laut dalam (deep sea). Jika zona- zona tersebut diintegrasikan dengan panampang lingkungan pengendapan laut secara dua dimensi (Gambar 6), maka zona dimana masih bisa ditemukan adanya mineral kalsit termasuk kedalam laut dalam (deep sea) pada zona III.

Gambar 6 Diagram yang memperlihatkan hubungan antara zona-zona mineral karbonat terhadap lingkungan pengendapan pada laut modern

Dalam dunia karbonat, ada beberapa mineral penting dan umum didapati dalam batuan karbonat, atau dalam bahasa lainnya batugamping. Mineral ini sangat penting untuk dipelajari kalau Anda sekalian ingin mendalami dunia karbonat. Atau setidaknya akan berhadapan dengan karbonat di lapangan baik dalam studi kuliah lapangan ataupun pemetaan geologi.
1. Aragonite (CaCO3)
Kristal Orthorombik, mineral karbonat yang paling labil, berbentuk jarum atau serabut, umumnya diendapkan secara kimiawi langsung dari presipitasi air laut.
2. Kalsit (CaCO3)
Kristal Hexagonal, mineral batuan karbonat yang lebih stabil, biasanya merupakan hablur kristal yang bagus dan jelas. Dijumpai sebagai hasil dari rekristalisasi Aragonite, serta sebagai semen pengisi ruang antar butir dan rekahan. Sangat umum dijumpai dalam batugamping.
3. Dolomit (CaMg (CO3)2)
Mineral ini mirip banget sama mineral kalsit, namun secara petrografis memiliki indeks refraksi yang berbeda. Mineral ini bisa terjadi langsung karena presipitasi air laut, tepi lebih seringnya karena replacement mineral kalsit.
4. Magnesit (MgCO3)
Kristal Hexagonal, dapat terjadi akibat pergantian mineral kalsit dan dolomit, namun sering terjadi akibat dari rombakan batuan yang memiliki kandungan magnesiun silikat.
Terdapat mineral-mineral karbonat lainnya yang sengaja tidak dijelaskan karena kurang memiliki arti penting, yaitu: Siderit, Ankerit, Rodokrosit, dan sebagainya.
Terdapat beberapa istilah penting yang cukup penting diketahui tentang batugamping atau karbonat:
1. Endapan Karbonat (“Carbonate Deposite”)
“Carbonate Sediment” merupakan endapan karbonat yang belum terkonsolidasi, terbentuk secara insitu oleh organik dan presipitasi inorganik dari larutan atau terjadi dari akumulasi partikel-pertikel rombakan karbonat.
2. Batugamping (“Limestone”)
Batuan karbonat yang hampir seluruhnya kalsium karbonat (CaCO3), atau secara spesifik adalah batuan karbonat yang mengandung lebih dari 95% kalsit dan kurang dari 5% dolomit.
3. Batugamping Dolomit (“Dolomitic Limestone”)
Batugamping yang mengandung 10-50% dolomit dan 50-90% kalsit.
4. Dolomit Kalsit (“Calcitic Dolomite”)
Batuan Dolomit yang mengandung 10-50% kalsit dan 50-90% dolomit.
5. Dolomit (batuan sedimen) atau Dolostone (istilah yang tidak diusulkan)
Batuan sedimen karbonat yang dominan mengandung mineral dolomit (lebih dari 50%); secara spesifik merupakan batuan sedimen karbonat yang mengandung lebih dari 90% mineral dolomit dan kurang dari 10% mineral kalsit.
6. Batugamping Kristalin (“Crystaline limestone”)
Batugamping yang dominan terdiri dari kristal.
7. Tufa (“Calcareous Tufa; Calc Tufa”)
Merupakan suatu spongi, batuan karbonat yang porous, diendapkan sebagai lapisan tipis di permukaan, di dekat mata air (Springs) dan sungai (rivers).
Dalam penentuan nama batuan karbonat kita bisa menggunakan Klasifikasi dari Dunham:


Dunham Classification
Dunham Classification
The Dunham (1962) classification of limestones according to depositional texture, as modified by Embry and Klovan (1971).
The Dunham (1962) classification of limestones according to depositional texture, as modified by Embry and Klovan (1971).
Batuan karbonat adalah semua batuan yang terdiri dari garam karbonat. Dalam prakteknya adalah terutama batugamping dan dolomit.
Karbonat mempunyai keistimewaan dalam cara terbentuknya, yaitu hanya dari larutan, praktis tidak ada sebagai detritus daratan. Pembentukan batuan karbonat secara kimia, tetapi yang penting adalah turut sertanya organisme di dalam batuan karbonat.
Ada 5 (lima) mekanisme penting yang dapat menerangkan bagaimana terjadinya pengendapan CaCO3 dan bertambahnya CO2 yang dapat terlarut dalam air (Blatt, 1982).
1. Bertambahnya suhu dan penguapan. Dari semua gas yang ada, hanya sedikit yang dapat larut dalam air panas dan hal ini yang menyebabkan mengapa batuan karbonat terbentuk hanya pada laut di daerah tropis dan subtropis, jarang didapatkan pada daerah dingin dekat kutub atau pada daerah laut dalam.
2. Pergerakan air. Bergerak air yang disebabkan oleh angin atau badai akan mengakibatkan kalsium dari organisme pembentuk karang dan lumpur karbonat bergerak berpindah ke atas permukaan air.
3. Penambahan salinitas. Karbon dioksida kurang larut dalam air garam bila dibandingkan dengan daya larutnya dalam air tawar, sehingga dengan bertambahnya salinitas akan menyebabkan karbon dioksida terbebas. Bertambahnya salinitas biasanya akibat dari penguapan dan dapat menambah jumlah kalsium sebanding dengan jumlah ion karbon.
4. Aktivitas organik. Alga dan koral mempunyai proses yang berbeda satu sama lain namun saling membutuhkan dimana alga menghirup karbon dioksida dan akan mengeluarkan oksigen selama berlangsungnya proses fotosintesa, sedangkan koral menghirup O2 dan akan mengeluarkan CO2.
5. Perubahan tekanan. Air hujan mengandung sejumlah karbon dioksida mengikat jumlah udara yang banyak, selanjutnya air hujan tersebut masuk dan melewati zona tanah dengan tekanan karbon dioksida lebih besar dibandingkan di atmosfir, akibatnya air tanah menjadi kaya akan karbon dioksida. Bila air tanah tersebut masuk ke dalam sebuah gua maka karbon akan larut dalam air dan menyebabkan terbentuknya kenampakan seperti stalaktit dan stalagmit.
Hal lain adalah terbentuknya tekstur klastik pada batuan karbonat sebagai fragmentasi atau pembentukan sekunder (contoh : oolith), dan pengendapannya menyerupai detritus.

Tekstur
Pada umumnya yang menjadi unsur-unsur tekstur adalah:
1. Matriks
2. Semen Kalsit
3. Butir
4. Kerangka organik
5. Kehabluran/crystalinity
Tekstur batuan karbonat dapat dibagi sebagai berikut :
1. Tekstur Primer
a. Kerangka Organik
Tekstur ini disusun oleh material-material yang berasal dari kerangka organik atau “skeletal” dalam pengertian Nelson, atau “frame builder”.
b. Klastik/Butiran
Tekstur ini dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
 Tekstur Bioklastik
Terdiri dari fragmen-fragmen ataupun cangkang-cangkang binatang, yang berupa klast (pernah lepas-lepas) : cocquina, foraminifera, keral (lepas-lepas).
 Tekstur Intraklastik/ fragmen non organik
Dibentuk di tempat atau ditransport, tetapi jelas hasil fragmentasi dari batuan atau sedimen gamping sebelumnya.
 Tekstur Chemiklastik/ non fragmental
Butir-butir yang terbentuk di tempat sedimentasi karena proses coagulasi, akresi, penggumpalan dan lain-lain. Contoh : oolith, pisolite.
c. Massa Dasar
Tekstur ini disusun oleh butir-butir halus dari karbonat yang terbentuk pada waktu sedimentasi.
Dalam tekstur primer, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
 Ukuran Butir
Ukuran butir batuan karbonat sering dipergunakan dengan mengggunakan sistem tersendiri, tetapi hal ini tidak dianjurkan. Adapun klasifikasi ukuran butir yang dipakai adalah klasidikasi ukuran butir dan tatanama dari Folk, 1961 yang didasarkan pada klasifikasi Grabau, 1912.
 Bentuk Butir
Bentuk butir juga penting dalam mempelajari batugamping terutama memperlihatkan energi dalam lingkungan pengendapan.
Untuk bioklastik dibedakan secara extreme :
- Cangkang-cangkang yang utuh atau fragmen kerangka yang utuh/bekas pecahan jelas
- Yang telah terabrasi/bulat.
Untuk Chemiklastik dibedakan atas :
- Spheruidal
- Ovoid
Untuk batugamping kerangka :
- Kerangka pertumbuhan (grothframework)
- Kerangka pergerakan (encrustation)
 Matriks (massa dasar)
Yaitu butir-butir halus dari karbonat yang mengisi rongga-rongga dan terbentuk pada waktu sedimentasi. Matriks ini dapat dihasilkan dari pengendapan langsung sebagai jarum aragonit secara kimiawi/biokimiawi, yang kemudian berubah menjadi kalsit (?). Juga terbentuk sebagai hasil abrasi, yaitu batugamping yang telah dibentuk, misalnya koral dierosi dan abrasi kembali oleh pukulan-pukulan gelombang dan merupakan tepung kalsit.
 Hubungan Matriks dan Butiran
Lumpur gamping sangat penting untuk interpretasi lingkungan pengendapan. Karena butiran batugamping terbentuk secara lokal, maka adanya matriks di antara butiran adalah indikator bagi lingkungan pengendapan air tenang. Berdasarkan hal ini, Dunham membuat klasifikasi karbonat.
2. Tekstur Sekunder atau Tekstur Diagenesa
Tekstur sekunder pada umumnya adalah tekstur hablur yang didapat pada sebagian batuan ataupun meliputi keseluruhan. Tekstur sekunder ini terbentuk apabila batuan karbonat yang terbentuk sebelumnya mengalami proses diagenesa. Proses-proses diagenesa meliputi :
a. Pengisian pori dengan lumpur gamping
b. Mikritisasi oleh ganggang
c. Sementasi
d. Pelarutan
e. Polimorfisme
f. Rekristapisasi
g. Pengubahan/pergantian (replacement)
h. Dolomitisasi
i. Silisifikasi

           pembentukan mineral karbonat tidak lepas dari kondisi air (tawar dan asin) dimana batuan karbonat tersebut terbentuk. Walaupun mineral karbonat dapat terbentuk pada air tawar dan laut, namun informasi banyak diperoleh dari kondisi air laut.

Terdapat variasi kedalaman laut (hingga ribuan meter) dimana mineral-mineral karbonat dapat terbentuk, namun produktifitas terbentuknya mineral karbonat hanya pada wilayah dimana cahaya matahari dapat tembus (Light saturation zone). Tingkat produktifitas mineral karbonat paling tinggi yaitu pada kedalaman 0 – 20 meter (Gambar 1) dimana cahaya matahari efektif menembus kedalaman ini.


Gambar 2.1 Penampang yang memperlihatkan hubungan produksi mineral karbonat terhadap kedalaman laut (Tucker & Wright, 1990).



Selain kedalaman laut, produktifitas mineral karbonat juga ditentukan oleh organisme penyusun batuan karbonat. Beberapa jenis organisme mempunyai komposisi mineral karbonat yang tertentu seperti koral yang umum dijumpai sebagi penyusun batuan karbonat modern memiliki komposisi mineral aragonit, sedangkan organisme lainnya seperti algae, foraminifera umumnya tersusun oleh mineral kalsit (Tabel 1).


Tabel 1 Komposisi mineral setiap organisme yang umum dijumpai pada batuan karbonat modern. (Sumber: Flügel, 1982).

Indikasi organisme tersebut sebenarnya juga menjadi indikasi lingkungan pengendapan yang paling baik. Hal ini juga berlaku jika ditinjau dari segi mineralogi organisme tersebut. Koral misalnya yang berkomposisi aragonit, dimana aragonit hanya ditemukan pada kedalaman hingga 2000 meter, maka dapat dikatakan bahwa koral yang menyusun batuan karbonat umumnya pada lingkungan laut dangkal.

MINERAL UTAMA PENYUSUN BATUAN KARBONAT

Menurut Milliman (1974), Folk (1974) dan Tucker dan Wright (1990) mengungkapkan bahwa mineral karbonat yang penting menyusun batuan karbonat adalah aragonit (CaCO3), kalsit (CaCO3) dan dolomit (CaMg(CO3)2). Selain mineral utama tersebut beberapa mineral sering pula dijumpai dalam batuan karbonat yaitu magnesit (Mg CO3), Rhodochrosite (MnCO3) dan siderit (Fe CO3) (Tabel 2).


Tabel 2 Sifat petrografis mineral pembentuk batuan karbonat (Flügel (1982)

Aragonite
Calcite
(Low-Mg Calcite)
Mg- Calcite
(High-Mg Calcite)
Dolomite
Rumus Kimia
CaCO3
CaCO3
CaCO3
CaMg(CO3)2
Sistem Kristal
rhombik
Hexagonal (rhombohedral) crystal
trigonal
Trace elemen yang umum
Sr, Ba, Pb, K
Mg, Fe, Mn, Zn, Cu
Fe, Mn, Zn, Cu
Mol% MgCO3
-
< 4
> 4 s/d  > 20
40 - 50
Indeks refraksi ganda
0,155
0,172
0,177
Berat jenis
2.94
2,72
2,86
Kekerasan
3,5 - 4
3
3,5 - 4
Kenampakan kristal
Umumnya dalam bentuk acicular (fibrous) micrite
Sering dalam bentuk isometric (sparry calcite) micrite
Micrite, sering dalam bentuk acicular (fibrous)
Sering dalam bentuk isometric (sparry dolomite) micrite
Pembentukan
Dominan pada lingkungan laut dangkal
Dominan pada lingkungan laut dalam, umum pada lingkungan air tawar
Dominan pada lingkungan laut dangkal
Utamanya pada lingkungan laut sangat dangkal (transisi)
 
Jenis mineral yang umum dijumpai tersebut mempunyai kharakteristik yang tidak jauh berbeda seperti yang ditunjukkan pada tabel di atas. Walaupun ketiganya umum dijumpai pada batuan karbonat namun yang paling umum adalah kalsit hususnya untuk batuan-batuan tua. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan atau diagenesa dimana mineral aragonit cenderung berubah menjadi kalsit.

Bentuk kristal dari mineral kalsit dikontrol oleh kandungan Mg++ dalam air dan bentuk ikatan kimianya dengan Ca. Semakin besar kandungan Mg++ maka bentuk kristalnya cenderung kurus dan panjang seperti jarum dan sebaliknya cenderung memipih (Gambar 2).

Gambar 2 Bentuk kristal mineral kalsit yang dikontrol oleh kondisi air (dikutip dari Folk, 1972).

Struktur dasar yang umum dalam mineral karbonat adalah grup CO3. struktur ini memiliki 3 atom oksigen dengan pusat kristal pada atom C. ikatan ini merupakan ikatan yang relatif lebih kuat dibanding dengan ikatan kimia lainnya dalam mineral karbonat (Tucker dan Wright, 1990). Bentuk struktur kristal dari ketiga mineral utama karbonat seperti disebutkan pada tabel 2 digambarkan dalam tiga dimensi untuk menjelaskan lapisan-lapisan setiap unit (Gambar 3).

Khusus untuk kalsit dan dolomit mempunyai kesamaan system kristal tetapi berbeda secara struktur. Pada kalsit terdapat perselingan lapisan antara atom Ca dan kelompok CO3. Setiap kelompok CO3 dalam satu lapisan mempunyai orientasi 180O terhadap lapisan didekatnya (Gambar 2.3).


Gambar 3 Morfologi kristal mineral karbonat (kalsit dan dolomit).

Ketiga mineral utama tersebut mempunyai lingkungan pembentukan tersendiri. Mineral aragonit terbentuk pada lingkungan yang mempunyai temperatur tinggi dengan penyinaran matahari yang cukup, sehingga batuan karbonat yang tersusun oleh komponen dengan mineral aragonit merupakan produk laut dangkal dengan kedalaman sekitar 2000 meter, namun perkembangan maksimum adalah hingga kedalaman 200 meter. Sedangkan mineral kalsit merupakan mineral yang stabil dalam air laut dan dekat permukaan kulit bumi. Mineral kalsit tersebut masih bisa ditemukan hingga kedalam laut mencapai 4500 meter (Gambar 2.4).

Dolomit adalah mineral karbonat yang stabil dalam air laut dan dekat permukaan. Dolomit menurut sebagian ahli merupakan batuan karbonat yang terbentuk oleh hasil diagenesa batuan yang telah ada. Dengan demikian maka dolomit hanya umum dijumpai pada daerah evaporasi atau transisi.

Wilayah atau kedalaman dimana mineral aragonit mulai melarut pada kedalaman sekitar 600 meter disebut lysocline dan pada kedalaman sekitar 2000 meter merupakan zona dimana aragonit tidak terbentuk lagi atau dikenal sebagai Aragonite Compensation Depth (ACD). Sedangkan mineral kalsit mulai melarut pada kedalaman sekitar 3000 meter dan pada kedalaman sekitar 4200 meter tidak ditemukan lagi mineral karbonat atau disebut Calcite Compensation depth (CCD) (Gambar 4).

Gambar 4 Diagram yang memperlihatkan posisi relatif mineral aragonit dan kalsit terhadap kedalaman air laut dan tingkat solubilitas mineral yang ditunjukkan oleh garis ACD dan CCD pada daerah tropis. Pembagian zona menjadi 4 zona yaitu zona presipitasi (I), zona dissolusi parsial (II), zona dissolusi aktif (III) dan zona dimana tidak ditemukan lagi mineral karbonat (IV).

Terjadinya perbedaan tersebut tidak hanya terjadi oleh karena perbedaan sinar matahari yang bisa masuk tetapi juga disebabkan oleh temperatur air laut, kandungan Mg2+, saturasi dari konsentrasi CO32- serta fisiologi biotanya (Tucker dan Wright, 1990).

Diagram yang diperlihatkan pada gambar 4 di atas secara berangsur berubah atau mendangkal seiring dengan perubahan latitude, damana semakin ke arah kutup, maka zona-zona tersebut semakin mendangkal (Gambar 5). Perubahan tersebut terjadi oleh perbedaan cahaya matahari yang bisa masuk kedalam air laut. Kedalaman air laut yang bisa tertembus oleh sinar matahari semakin tinggi pada posisi dekat dengan equator atau khatulistiwa. Oleh karena itu pada daerah-daerah equatorial merupakan wilayah yang menjadi tempat berkembangnya terumbu modern yang baik. Sebaliknya zona yang menjauh dari daerah equatorial maka kedalaman air yang dapat ditembus oleh cahaya matahari semakin dangkal sehingga semakin kurang baik perkembangan terumbunya.


Gambar 5 Diagram yang memperlihatkan posisi relatif zona presipitasi (I), zona dissolusi parsial (II), zona dissolusi aktif (III) dan zona dimana tidak ditemukan lagi mineral karbonat (IV) terhadap latitude.

Khusus untuk daerah tropis, pembagian zona tersebut CCD mencapai kedalaman laut sekitar 4500-an meter atau hingga laut dalam (deep sea). Jika zona- zona tersebut diintegrasikan dengan panampang lingkungan pengendapan laut secara dua dimensi (Gambar 6), maka zona dimana masih bisa ditemukan adanya mineral kalsit termasuk kedalam laut dalam (deep sea) pada zona III.

Gambar 6 Diagram yang memperlihatkan hubungan antara zona-zona mineral karbonat terhadap lingkungan pengendapan pada laut modern

Dalam dunia karbonat, ada beberapa mineral penting dan umum didapati dalam batuan karbonat, atau dalam bahasa lainnya batugamping. Mineral ini sangat penting untuk dipelajari kalau Anda sekalian ingin mendalami dunia karbonat. Atau setidaknya akan berhadapan dengan karbonat di lapangan baik dalam studi kuliah lapangan ataupun pemetaan geologi.
1. Aragonite (CaCO3)
Kristal Orthorombik, mineral karbonat yang paling labil, berbentuk jarum atau serabut, umumnya diendapkan secara kimiawi langsung dari presipitasi air laut.
2. Kalsit (CaCO3)
Kristal Hexagonal, mineral batuan karbonat yang lebih stabil, biasanya merupakan hablur kristal yang bagus dan jelas. Dijumpai sebagai hasil dari rekristalisasi Aragonite, serta sebagai semen pengisi ruang antar butir dan rekahan. Sangat umum dijumpai dalam batugamping.
3. Dolomit (CaMg (CO3)2)
Mineral ini mirip banget sama mineral kalsit, namun secara petrografis memiliki indeks refraksi yang berbeda. Mineral ini bisa terjadi langsung karena presipitasi air laut, tepi lebih seringnya karena replacement mineral kalsit.
4. Magnesit (MgCO3)
Kristal Hexagonal, dapat terjadi akibat pergantian mineral kalsit dan dolomit, namun sering terjadi akibat dari rombakan batuan yang memiliki kandungan magnesiun silikat.
Terdapat mineral-mineral karbonat lainnya yang sengaja tidak dijelaskan karena kurang memiliki arti penting, yaitu: Siderit, Ankerit, Rodokrosit, dan sebagainya.
Terdapat beberapa istilah penting yang cukup penting diketahui tentang batugamping atau karbonat:
1. Endapan Karbonat (“Carbonate Deposite”)
“Carbonate Sediment” merupakan endapan karbonat yang belum terkonsolidasi, terbentuk secara insitu oleh organik dan presipitasi inorganik dari larutan atau terjadi dari akumulasi partikel-pertikel rombakan karbonat.
2. Batugamping (“Limestone”)
Batuan karbonat yang hampir seluruhnya kalsium karbonat (CaCO3), atau secara spesifik adalah batuan karbonat yang mengandung lebih dari 95% kalsit dan kurang dari 5% dolomit.
3. Batugamping Dolomit (“Dolomitic Limestone”)
Batugamping yang mengandung 10-50% dolomit dan 50-90% kalsit.
4. Dolomit Kalsit (“Calcitic Dolomite”)
Batuan Dolomit yang mengandung 10-50% kalsit dan 50-90% dolomit.
5. Dolomit (batuan sedimen) atau Dolostone (istilah yang tidak diusulkan)
Batuan sedimen karbonat yang dominan mengandung mineral dolomit (lebih dari 50%); secara spesifik merupakan batuan sedimen karbonat yang mengandung lebih dari 90% mineral dolomit dan kurang dari 10% mineral kalsit.
6. Batugamping Kristalin (“Crystaline limestone”)
Batugamping yang dominan terdiri dari kristal.
7. Tufa (“Calcareous Tufa; Calc Tufa”)
Merupakan suatu spongi, batuan karbonat yang porous, diendapkan sebagai lapisan tipis di permukaan, di dekat mata air (Springs) dan sungai (rivers).
Dalam penentuan nama batuan karbonat kita bisa menggunakan Klasifikasi dari Dunham:


Dunham Classification
Dunham Classification
The Dunham (1962) classification of limestones according to depositional texture, as modified by Embry and Klovan (1971).
The Dunham (1962) classification of limestones according to depositional texture, as modified by Embry and Klovan (1971).